Indonesia Bangkitlah!!

Selasa, 26 Oktober 2010

Selengkapnya...

Puisi Perjuangan Indonesia

Semula ku tak mengerti
Apa yang sedang terjadi di negeri ini
Apa yang sedang bangsa ini alami
Semua terasa bagai mimpi
Begitu berat perjuangan Nya
Begitu letih kaki tangannya
Peluh dan darah bercucuran olehnya
Tanpa ampun mereka berkata.. MAJU…!!
Dengan sangkur di tangan kanan
Serbu…. Serang…. Terjang…
Sungguh besar semangat mereka
Terbakar oleh semangat membara
Tapi, kini apa yang terjadi
Banyak yang lupa akan kebaikan hati
Dari serdadu yang rela mati
Semangat kemerdekaan mereka telah mati
Kemerdekaan ini hampa tak berarti
Membuang asa yang telah terlewati
Hanya bisa berangan tanpa henti
Dengan semua yang telah terjadi
Kini kuharap semua akan berhenti
Semua keegoisan hati
Dengan semangat pemuda pemudi
Turut membangun negeri ini

karya: penulis

Selengkapnya...

Sejarah Boedi Oetomo

Lahirnya Boedi Oetomo menjadi sebuah tonggak sejarah yang penting bagi Kebangkitan Nasional indonesia. Maka sedikit artikel berikut ini sedikit mengupas sejarah Boedi Oetomo.Budi Utomo lahir dari inspirasi yang dikemukakan oleh Wahidin Soedirohoesodo disaat beliau sedang berkeliling ke setiap sekolah untuk menyebarkan beasiswa, salah satunya STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Sejak saat itu, mahasiswa STOVIA mulai terbuka pikirannya dan mereka mulai mengadakan pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan STOVIA oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan. Dalam praktik mereka pun tampak menindas rakyat dan bangsa sendiri, misalnya dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para penguasa Belanda.
Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa mereka membutuhkan sebuah organisasi untuk mewadahi mereka, seperti halnya golongan-golongan lain yang mendirikan perkumpulan hanya untuk golongan mereka seperti Tiong Hoa Hwee Koan untuk orang Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda jelas juga tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib rakyat kecil kaum pribumi, bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan rakyat kecil.
Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda, dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif tetapi terbuka untuk siapa saja tanpa melihat kedudukan, kekayaan, atau pendidikannya.
Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura, yang untuk mudahnya disebut saja suku bangsa Jawa. Mereka mengakui bahwa mereka belum mengetahui nasib, aspirasi, dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau Jawa, terutama Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie), tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam, begitu pula kebudayaannya. Dengan demikian, sekali lagi pada awalnya Budi Utomo memang memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura saja karena, menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan yang sama.
Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa "kaum tua"-lah yang harus memimpin Budi Utomo, sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan organisasi itu.
Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan "priayi" atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.
Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum berpengalaman.
Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah.
Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.
Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa "nasionalisme Indonesia" tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian, nasionalisme terdapat pada orang Sumatera maupun Jawa, Sulawesi maupun Maluku.
Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Budi Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan menolak suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota.
Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme "Indonesia" ada dan merupakan unsur yang paling penting.

Selengkapnya...

Perjalanan Indonesia Menuju Kebangkitan

Selengkapnya...

Seratus Tahun Kebangkitan Nasional

Selengkapnya...

Minggu, 24 Oktober 2010

TOKOH KEBANGKITAN NASIONAL

Beberapa Tokoh Kebangkitan Nasional Indonesia:
1. Dr. Soetomo
2. Dr. Cipto Mangunkusumo

3. Ki Hajar Dewantara
Selengkapnya...

STOVIA, Sejarah Tonggak Kebangkitan Nasional

School tot Opleiding van Indische Artsen (bahasa Indonesia: Sekolah Pendidikan Dokter Hindia), atau yang juga dikenal dengan singkatannya STOVIA, adalah sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia-Belanda. Saat ini sekolah ini telah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

 
Sejarah Berdirinya STOVIA
Kekhawatiran akan kurangnya tenaga juru kesehatan untuk menghadapi berjangkitnya berbagai macam penyakit berbahaya di wilayah-wilayah jajahannya, membuat pemerintah kolonial menetapkan perlunya diselenggarakan suatu kursus juru kesehatan di Hindia Belanda. Pada 2 Januari 1849, dikeluarkanlah Surat Keputusan Gubernemen no. 22 mengenai hal tersebut, dengan menetapkan tempat pendidikannya di Rumah Sakit Militer (sekarang RSPAD Gatot Subroto) di kawasan Weltevreden, Batavia (sekarang Gambir dan sekitarnya).

Pada tahun 5 Juni 1853, kegiatan kursus juru kesehatan ditingkatkan kualitasnya melalui Surat Keputusan Gubernemen no. 10 menjadi Sekolah Dokter Djawa, dengan masa pendidikan tiga tahun. Lulusannya berhak bergelar "Dokter Djawa", akan tetapi sebagian besar pekerjaannya adalah sebagai mantri cacar.

Selanjutnya Sekolah Dokter Djawa yang terus menerus mengalami perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Pada tahun 1889 namanya diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen (atau Sekolah Pendidikan Ahli Ilmu Kedokteran Pribumi), lalu pada tahun 1898 diubah lagi menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (atau Sekolah Dokter Pribumi). Akhirnya pada tahun 1913, diubahlah kata Inlandsche (pribumi) menjadi Indische (Hindia) karena sekolah ini kemudian dibuka untuk siapa saja, termasuk penduduk keturunan "Timur Asing" dan Eropa, sedangkan sebelumnya hanya untuk penduduk pribumi. Pendidikan dapat diperoleh oleh siapa saja yang lulus ujian dan masuk dengan biaya sendiri.
Lahirnya Boedi Oetomo
Budi Utomo (ejaan Soewandi: Boedi Oetomo) adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa.
Saat ini tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Latar Belakang Lahirnya Boedi Oetomo
Budi Utomo lahir dari inspirasi yang dikemukakan oleh Wahidin Soedirohoesodo alumnus Sekolah Dokter Djawa, disaat beliau sedang berkeliling ke setiap sekolah untuk menyebarkan beasiswa, salah satunya di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Sejak saat itu, mahasiswa STOVIA mulai terbuka pikirannya dan mereka mulai mengadakan pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan STOVIA oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan. Dalam praktik mereka pun tampak menindas rakyat dan bangsa sendiri, misalnya dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para penguasa Belanda.



Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar yaitu di ruang Anatomi gedung STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa "kaum tua"-lah yang harus memimpin Budi Utomo, sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan organisasi itu.

Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan "priayi" atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
Selengkapnya...

Sejarah Kebangkitan Nasional Indonesia

Bangsa Indonesia, yang dijajah oleh Belanda, hidup dalam penderitaan dan kebodohan selama ratusan tahun. Bahkan tingkat kecerdasan rakyat, sangat rendah. Hal ini adalah pengaruh sistem kolonialisme yang berusaha untuk “membodohi” dan “membodohkan” bangsa jajahannya. Politik ini jelas terlihat pada gambaran berikut:

1. Pengajaran sangat kurang, bahkan setelah menjajah selama 250 tahun tepatnya pada 1850 Belanda mulai memberikan anggaran untuk anak-anak Indonesia, itupun sangat kecil.
2. Pendidikan yang disediakan tidak banyak, bahkan pengajaran tersebut hanya ditujukan untuk menciptakan tenaga yang bisa baca tulis dan untuk keperluan perusahaan saja.

Keadaan yang sangat buruk ini membuat dr. Wahidin Soedirohoesodo yang mula-mula berjuang melalui surat kabar Retnodhumilah, menyerukan pada golongan priyayi Bumiputera untuk membentuk dana pendidikan. Namun usaha tersebut belum membuahkan hasil, sehingga dr. Wahidin Soedirohoesodo harus terjung ke lapangan dengan berceramah langsung.

Berdirinya Boedi Oetomo

Dengan R. Soetomo sebagai motor, timbul niat di kalangan pelajar STOVIA di Jakarta untuk mendirikan perhimpunan di kalangan para pelajar guna menambah pesatnya usaha mengejar ketertinggalan bangsa.

Langkah pertama yang dilakukan Soetomo dan beberapa temannya ialah mengirimkan surat-surat untuk mencari hubungan dengan murid-murid di kota-kota lain di luar Jakarta, misalnya: Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Magelang.

Pada hari Sabtu tanggal 20 Mei 1908 pukul 9 pagi, Soetomo dan kawan-kawannya: M. Soeradji, M. Muhammad saleh, M. Soewarno, M. Goenawan, Soewarno, R.M. Goembrek, dan R. Angka berkumpul dalam ruang kuliah anatomi. Setelah segala sesuatunya dibicarakan masak-masak, mereka sepakat memilih “Boedi Oetomo” menjadi nama perkumpulan yang baru saja mereka resmikan berdirinya.

Ruang Anatomi tempat pertemuan dr. Soetomo dkk membahas

pendirian Boedi Oetomo. Kini ruangan ini dinamakan Ruang Memorial

dr. Soetomo. (Filmon L. Warouw/Depkominfo)

“Boedi” artinya perangai atau tabiat sedangkan “Oetomo” berarti baik atau luhur. Boedi Oetomo yang dimaksud oleh pendirinya adalah perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan atas keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat, kemahirannya.

Kongres Pertama Boedi Oetomo (3 Oktober – 5 Oktober 1908)


Kongres ini diadakan di Kweekschool atau Sekolah Guru Atas Yogyakarta (Sekarang SMA 11 Yogyakarta) dengan pembicara:

1. R. Soetomo (STOVIA Weltevreden)
2. R. Saroso (Kweekschool Yogyakarta)
3. R. Kamargo (Hoofd der School Magelang)
4. Dr. MM. Mangoenhoesodo (Surakarta)
5. M. Goenawan Mangoenkoesoemo

Setelah berlangsung selama tiga hari, kongres yang dipimpin oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo mengesahkan Anggaran Dasar Boedi Oetomo yang pada pokoknya menetapkan tujuan perhimpunan sebagai berikut:

Kemajuan yang selaras (harmonis) buat negara dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, kebudayaan (kesenian dan ilmu pengetahuan).

Beberapa prestasi yang diraih oleh Boedi Oetomo diantaranya: penerbitan majalah “Guru Desa”, perubahan pelajaraan Bahasa Belanda di Sekolah Dasar yang semula hanya diajarkan di kelas tiga ke atas berubah menjadi mulai kelas satu, serta mendirikan surat kabar resmi Boedi Oetomo berbahasa Belanda, Melayu, dan Jawa.

Boedi Oetomo telah memberikan teladan dengan berdiri di barisan terdepan membawa panji-panji kesadaran, menggugah semangat persatuan, adalah suatu kenyataan yang tidak boleh dikesampingkan.

Lagu yang patut kita untuk nyanyikan:
Padamu Negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
bagimu negeri jiwa raga Kami








Selengkapnya...

Jumat, 22 Oktober 2010

Makna Kebangkitan Nasional setelah 65 tahun Indonesia Merdeka

Tanggal 20 Mei 1945 menjadi tonggak sejarah Kebangkitan Nasional Indonesia dengan digalangnya kekuatan oleh para pemuda di wilayah nusantara ini untuk menyatukan tekad “bangkit dari keadaan sebagai negeri terjajah”
Rentetan perjuangan dengan gelimpangan perngorbanan yang tak terhitung berujung pada tercapainya tujuan “merdeka”. 17 Agustus 1945 kita sampai pada satu “titik” bahwa “wilayah kami” tidak lagi terjajah. Kami sudah menjadi bangsa MERDEKA.
Enam puluh lima tahun sudah berlalu, Kami sudah BANGKIT. Infrastruktur sudah lengkap, sekolah sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan, masyarakat sudah menikmati listrik, telepo bahkan internet
serta seabreg kemajuan yang Kami bangun sejak Orde Lama, Orde Baru, Reformasi hingga kini ……
Terhadap kemajuan Pembangunan Fisik, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Pemerataan (kecuali kawasan tertentu terutama di Timur Indonesia) sangat diakui bahwa Indonesia yang sejak 17 Agustus 1945 telah merdeka kini menjadi Negara Berkembang yang sangat diperhitungkan.
Tapi bangaimana dengan Moral masyarakat bangsa ini? baik rakyat biasa maupun yang jadi pejabat?
Inilah yang mungkin dan pasti pada moment KEBANGKITAN NASIONAL tahun ini perlu menjadi bahan renungan.
Pertama, masyarakat di negeri ini masih banyak yang sangat miskin dari sisi ekonomi bahkan lebih celaka lagi banyak di antara mereka yang memiliki mental yang sangat memprihatinkan yaitu selalu mengharapkan bantuan padahal memiliki potensi untuk bangkit dari kemiskinannya. Ini terbuktu dari berbagai program yang digulirkan berujung pada kegagalan karena bantuan yang diberikan selalu “dimusnahkan” ketika sudah diterima bukan “digulirkan”.
Kedua, Pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan bagi seluruh masyarakat tidak diimbangi dengan sistem penyelenggaraan yang memadai sehingga menghasilkan proses dan hasil pendidikan di sekolah yang bersifat formalitas, sekolah dimaknai sebagai bagian yang harus dilewati pada usia tertentu selama waktu tertentu dan harus selesai dengan “mengantongi” ijazah dengan tanpa mempertimbangkan apa yang terbaik harus didapat dari proses pendidikan di sekolah. Kondisi ini melahirkan generasi yang “penuh dengan tanda tanya” yang apabila dibandingkan dengan bangsa lain, rata-rata kualitas lulusan SMA di negeri ini mungkin setara dengan lulusan “SD” di negara maju. ini sangat parah …. meskipun ga semuanya ……. Belum lagi pendidikan belum melahirkan generasi yang bermoral baik, terbukti …..
Ketiga, Masyarakat secara umum masih banyak yang tidak memiliki budaya “do the best”, kompetitif, prosedural dan disiplin terhadap tata etika dan aturan formal kehidupan bernegara di negeri ini sehingga banyak melahirkan budaya kolusi serta kongkalingkong dengan pejabat.
Keempat, Para pejabat yang memililki kewenangan banyak yang menyalahgunakannya, tidak menganggap bahwa jabatan dan kewenangannya sebagai amanat dan memaknai bahwa dirinya adalah pelayan bagi masyarakat. Penyalahgunaan wewenang, Kolusi, Korupsi, Nepotisme menghiasi keseharian pemerintahan negeri ini. Kini…… slogan good governance dan excellent service hanya jadi slogan.
Kelima, keenam, ketujuh ……… terlalu banyak yang harus diungkap.
Besok, 20 Mei 2010 adalah Hari Kebangkitan Nasional berdasarkan sejarah. Akankah hanya dijadikan seremonial belaka hanya sekedar apresiasi terhadap jasa para pahlawan pada waktu itu? ataukah akan dimaknai bahwa hari ini dan selanjutnya negeri ini harus BANGKIT untuk memperbaiki:

Bangkit Indonesia ! ! !


Selengkapnya...